Monday, July 1, 2013

TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRAGO



SEJARAH TERBENTUKNYA PEGUNUNGAN GEDE-PANGRANGO

Berdasarkan penelitian Direktorat Vulkanologi, lapisan-lapisan batuan pembentuk Pegunungan Gede-Pangrango, menunjukan bahwa awal pembentukan pegunungan ini adalah akibat tubrukan antara lempeng continental (eurasian) dengan lempeng oceanic (benua besar di bawah Australia). Pada saat benturan terjadi, lempeng oceanic yang lebih berat tenggelam atau tertindih lempeng continental, sedangkan lempeng continental terangkat ke atas dan membentuk pegunungan.
Lempeng oceanic tenggelam sampai ke lapisan kerak bumi dan meleleh karena panas. Dengan melelehnya batuan tersebut menyebabkan kepadatan disekitarnya menjadi kurang, sehingga permukaan bumi amblas dan membentuk lubang-lubang kepundan.
Gunung tertua di kawasan Pegunungan Gede-Pangrango ini, nampaknya adalah Gunung Gegerbentang dan disusul kemudian Gunung Mandalawangi dan Gunung Gemuruh. Tuanya Gunung Gegerbentang saat ini hanya terlihat seperti salah satu lereng Gunung Pangrango saja, padahal sebenarnya Gunung Gegerbentang merupakan gunung api tersendiri, yang dibuktikan dengan adanya peninggalan jejak dua kawah tua (sudah tererupsi, dan tidak terlihat seperti lubang vulkanik berasap), yang posisinya terletak diantara Puncak Pass dan Gunung Pangrango.
Sedang Gunung Mandalawangi pada awalnya merupakan gunung api yang sangat besar dan meletus dengan sangat dasyat. Lavanya mengalir ke segala arah, bahkan batuannya menyebar sampai ke kaki Gunung Salak dan Kota Bogor. Saat ini Gunung Mandalawangi seakan sudah tidak terlihat lagi, kecuali hanya jejaknya saja yang berupa ‘kawah besar purba’ (sudah tererupsi, dan tidak terlihat lagi seperti lubang vulkanik berasap), dan anak gunungnya yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pangrango.
Begitu pula dengan Gunung Gemuruh yang pada awalnya merupakan gunung api tersendiri berdampingan dengan Gunung Mandalawangi. Gunung Gemuruh pun saat ini seakan hanya disebut sebagai salah satu bukit di kawasan Puncak Gede yang membentengi lembah suryakencana saja. Letusannya pun menyisakan jejak sebuah ‘kawah tua’ (sudah tererupsi, dan tidak terlihat seperti lubang vulkanik berasap), yang sekarang disebut dengan Alun-alun Suryakencana, dan anak gunungnya yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Gede.
Masyarakat sekitar pegunungan Gede-Pangrango masih banyak menggunakan Mandalawangi sebagai nama kampung atau daerahnya. Begitu pula nama salah satu kantor area (resort) TNGGP di Cibodas pun diberi nama Resort Mandalawangi. Hal ini terkait dengan sejarah dan kebesaran gunung tua Mandalawangi tersebut.
Sehingga dengan merujuk pada sejarah pembentukannya, lereng Gunung Pangrango yang selama ini disebut, sebenarnya adalah Gunung Mandalawangi (Pangrango tua) yang di salah satu bibir bekas kawah (puncak) gunungnya tumbuh gunung baru yang dinamai puncak Gunung Pangrango. Sedangkan anggapan adanya Gunung Mandalawangi yang selama ini puncaknya terlihat berdampingan dengan puncak Gunung Pangrango, sebenarnya adalah salah satu bibir ‘kawah besar purba Mandalawangi’. Sama halnya dengan Gunung Masigit yang bersejarah dan puncaknya terlihat dekat dengan puncak Gunung Pangrango, yang sebenarnya juga merupakan salah satu bibir ‘kawah besar purba Mandalawangi’ tertinggi.
Sedangkan Gunung Gemuruh (Gede tua) yang selama ini puncaknya terlihat berdampingan dengan puncak Gunung Gede, sebenarnya adalah salah satu bibir ‘kawah Gemuruh tua’ tertinggi. Sama halnya dengan Gunung Sukaro yang puncaknya berdampingan dengan puncak Gunung Gemuruh, yang sebenarnya juga merupakan salah satu bibir ‘kawah Gemuruh tua’.
Gunung Gede dan Pangrango yang dikenal selama ini termasuk ‘gunung muda’, yang merupakan generasi gunung api keempat yang terbentuk sekitar 3 juta tahun lalu. Gunung Gede yang mencapai tinggi 2.985 mdpl adalah salah satu gunung di kawasan pegunungan ini yang paling aktif mengeluarkan letusan dalam kurun waktu 210 tahun. Sementara Gunung Pangrango yang berumur lebih tua, lebih luas, dan lebih tinggi, telah dinyatakan tidak aktif.
Diduga rempahan hasil aktifitas letusan Gunung Gemuruh (Gede tua) adalah berupa sebaran 777 bukit. Sebaran 777 bukit ini diduga akibat letusan hebat disertai longsoran dinding yang kemudian diendapkan berupa bukit-bukit kecil.
Saat ini, gunung-gunung yang puncaknya secara umum sudah dikenal dan masih dapat dilihat dalam kawasan Pegunungan Gede-Pangrango, antara lain Pangrango (3.019 mdpl), Gede (2.958 mdpl), Gumuruh (2.929 mdpl), Sela (2.709 mdpl), Sukaro (2.703 mdpl), Mandalawangi (2.700 mdpl), Masigit (2.500 mdpl), Lingkung (2.001 mdpl), Gegerbentang (2.000 mdpl), serta beberapa gunung kecil dan perbukitan lainnya.
 

LETUSAN GUNUNG GEDE

Tercatat 210 tahun, sejak tahun 1747 sampai 1957, telah terjadi lebih dari 50 kali letusan-letusan kecil Gunung Gede, secara tidak teratur. Sejarah letusan Gunung Gede tercatat oleh Junghun (1843) dan Taverne (1926), yang diuraikan dalam Kusumadinata K. dan Hamidi S. (1979). Diterangkan bahwa letusan Gunung Gede umumnya kecil dan singkat, serta mengeluarkan abu atau pasir halus, kecuali yang terjadi pada tahun 1747–1748 yang diduga mengeluarkan dua aliran lava dari Kawah Lanang.
Tahun 1747-1748; Junghuhn (1854) mencatat letusan Gunung Gede yang pertama. Letusan yang terjadi sangat hebat hingga menyebabkan 2 aliran lava yang keluar dari Kawah Lanang. Sekitar 260 tahun lalu, letusan gunung ini membentuk aliran lava sepanjang 2 km lurus sampai dinding tebing Air Panas (2.130 mdpl, sekitar 5 km jalur long trekking dari Komplek Kantor Resort Mandalawangi Cibodas). Diperkirakan aliran lava inilah, yang telah menjadi sumber Air Panas tersebut, sampai sekarang.
Tahun 1761; Junghuhn (1854) mencatat adanya letusan kecil yang menghasilkan hanya sedikit abu.
Tahun 1780; Gunung Gede kembali mengeluarkan letusan-letusan kecil, dan akhirnya tertidur sementara sampai 52 tahun kemudian.
Tahun 1832, tanggal 29 Agustus; awan asap raksasa mengepul dari kawah yang terlihat dari Bogor. Pada jam 11:00 – 12:00, akibat lutusan ini menyebabkan hujan abu deras yang sangat halus dan berwarna kehitam-hitaman, serta berhembus ke arah Jakarta (Betawi).
Tahun 1840, Gunung Gede seakan terbangun dari tidurnya dengan letusan yang lebih dahsyat dari sebelumnya. Aktifitas letusan selama lima bulanan ini menjadi sejarah letusan Gunung Gede terbesar dibandingkan dengan letusan-letusan Gunung Gede lainnya yang telah terjadi dalam kurun waktu 210 tahun masa aktif letusan Gunung Gede.
tanggal 12 November, jam 03:00 pagi; Hasskarl dan Junghuhn (1854) mencatat terjadinya beberapa kali letusan hebat secara tiba-tiba, yang disertai suara gemuruh dan goncangan tanah hebat. Semburan api setinggi lebih kurang 50 m diatas kawah telah menghebohkan desa-desa disekitarnya. Kepulan asap dan semburan gas panas menuju lereng barat gunung hingga hampir mencapai Kebun Raya Cibodas. Sejumlah besar batu membara dilontarkan dari kawah dan sebuah tiang asap hitam naik tinggi ke udara, abu menghujani daerah Bogor.
tanggal 14 November 1840; Gunung Gede seakan belum mau berhenti mengingatkan manusia terhadap eksistensinya, dengan memuntahkan bebatuan besar yang berdiameter lebih dari 1 meter ke luar dari perutnya dan abunya terbawa hingga sejauh 20 km. Sebuah batu yang berukuran sangat besar mendarat dengan sangat kuatnya di sekitar Curug Cibeureum Cibodas (1.625 mdpl, 2,8 km dari jalur short trekking dari Komplek Kantor Resort Mandalawangi Cibodas) yang menyebabkan terbentuknya lubang sedalam 4 m.
tanggal 22 Nopember, jam 01:00 pagi, bumi berguncang dan terdengar suara keras selama asap dan bongkah puing lava dimuntahkan. Keesokan harinya puncak gunung seakan-akan seluruhnya menyala, bagaikan lapangan alang-alang yang terbakar.
tanggal 1 Desember, jam 06:00 pagi; letusan paroksisma terjadi disertai hujan kerikil dan awan debu. Terdengar suara bagaikan guntur dengan tiang api mencapai lebih kurang 200 m diatas tepi kawah menyerupai sosok ‘pohon raksasa’. Awan asapnya mencapai ketinggian sekitar 2000 m diatas puncak gunung.
tanggal 3 Desember, jam 18:00 sore; letusan dan gemuruh disertai hujan kerikil dan awan debu.
tanggal 11 Desember 1840, jam 02:00 pagi;letusan Gunung Gede menjadi sangat intens disertai gemuruh besar dan hujan abu yang menutupi cahaya matahari, seperti halnya energi statis pada abu yang diberi listrik sehingga mengeluarkan energi.
Tahun 1841, bulan Maret; menjadi rentetan terakhir letusan Gunung Gede yang dimulai sejak November 1840.
Hasskarl seorang peneliti dari Eropa, sempat mengamati dan melihat dari dekat kerusakan dan kehancuran yang diakibatkan oleh aktifitas lutusan Gunung Gede. Seluruh pepohonan dan tetumbuhan bawah di kawasan ini rusak, terutama di bagian puncak (di atas lokasi Air Panas) yang sebagian terbakar dan hancur akibat letusan lava panas dan guncangan vulkanik yang sangat hebat.
Tahun 1843, tanggal 28 Juli, jam 23:30 hujan abu tipis.
Tahun 1845, tanggal 23 Januari, jam 10:30; tampak sebuah tiang asap naik dari kawah, disertai suara bergemuruh.
tanggal 5 Maret, jam 22:30; aktifitas serupa dengan bulan Januari terjadi lagi.
Tahun 1847, tanggal 17 – 18 Oktober; malam hari hujan abu tipis jatuh di Bogor.
Tahun 1848, tanggal 8 Mei; pagi hari tiba-tiba muncul tiang asap tebal dari Kawah Gede.
Tahun 1852, tanggal 28 Mei; sejumlah besar batu berdiameter 2 hingga 12 kaki dan abu dilontarkan. Letusan Gunung Gede menghancurkan sebuah rumah peristirahatan dan kebun yang pernah dibangun Belanda di Kandang Badak (2.436 mdpl, sekitar 6,5 km jalur long trekking dari Komplek Kantor Resort Mandalawangi Cibodas), akibat ditertimpa batu yang sangat besar.
Tahun 1853, tanggal 14 Maret, antara jam 07:00 – 09:00 tiang awan membumbung.
Tahun 1866, tanggal 18 September; terjadi letusan kecil yang mengeluarkan hujan abu.
Tahun 1870, tanggal 29 Agustus – 30 September; Puncak Gunung Gede terlihat mengeluarkan bara api, uap asap sangat tebal.
tanggal 3 Oktober, jam 09:45; terdengar ledakan kuat.
Tahun 1885; bulan Januari dan Februari; Gunung Gede kembali mengeluarkan gemuruh.
Tahun 1886, tanggal 10 Juni – 16 Agustus; terjadi ledakan dan dentuman, disertai hujan abu setebal 50 cm yang disemburkan sejauh 500 meter dari kawah, hingga menghancurkan hampir seluruh vegetasi disekitarnya.
Tahun 1887, tanggal 22 Oktober; Gunung Gede kembali mengeluarkan letusan kecilnya.
Tahun 1888; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun 1889; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun 1891; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun 1899, tanggal 1 – 14 Mei; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara gemuruh sampai terlihat sinar api di malam hari.
Tahun 1900; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun 1909, tanggal 2 Mei; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara gemuruh disertai hujan abu.
Taverne (1926) menceritakan bahwa gemuruh yang dikeluarkan Gunung Gede sama sekali tidak berarti, dan hanya terbatas pada hujan abu yang tipis selama 1 atau 2 hari saja. Neumann van Padang (1951, p.72 – 74) mencantumkan bahwa letusan ini adalah esplosi normal yang terjadi di kawah pusat.
Tahun 1946, tanggal 19 – 20 Desember; tampak asap membumbung dari Kawah Ratu.
Tahun 1947, tanggal 2 September; letusan kecil dari Kawah Ratu.
tanggal 27 September, pukul 09:00 dan 09:30; terjadi awan letusan setinggi lebih kurang 500 m disertai hujan abu tipis.
tanggal 17 Oktober, jam 20:30, 20:40; dan 21:00 letusan pendek.
tanggal 1 Nopember, jam 13:40; letusan pendek.
tanggal 15 Nopember, jam 12:15 letusan pendek.
tanggal 28 November, jam 11:25; letusan selama 2 – 3 menit.
tanggal 30 Nopember, jam 21:27; letusan selama 3 menit.
Tahun 1948, tanggal 8 Januari, jam 00:20; letusan selama 3 menit dan semburan pasir dan lapili.
tanggal 11 Januari, jam 21.50; letusan selama 20 detik.
tanggal 17 Januari, jam 15.45; terjadi letusan pendek.
tanggal 22 Januari, jam 00:45; dan 01:00 terjadi letusan pendek.
tanggal 25 Januari, jam 07:30; dan 07:32 terjadi letusan selama 3 menit (Berlage, 1948).
tanggal 28 Januari, jam 04:23; letusan pendek.
tanggal 12 Nopember, jam 11:28; letusan dengan awan abu setinggi 5000 m.
tanggal 16 Nopember, jam 06:45; terjadi letusan dengan awan abu kelabu.
tanggal 20 Nopember, jam 03:45; terjadi letusan pendek.
tanggal 23 Nopember, jam 07:00; tiga letusan dengan awan letusan setinggi 2500 m (Adnawidjaja, 1948).
Tahun 1949, tanggal 17 Januari dan 5 Februari, letusan kecil dari kawah pusat (Neumann van Padang, 1951).
Tahun 1955, tanggal 21 Juli; Djatikoesoemo (1955) mencatat adanya letusan kecil Gunung Gede.
tanggal 2 Agustus, jam 00:20; Djajawinangun (1955) mencatat adanya asap tebal hitam pekat tampak menyembur setinggi 300 – 400 m.
Tahun 1956, tanggal 28 April, jam 07:00; Hadikusumo (1957) mencatat adanya awan abu tebal berwarna hitam disertai dengan sinar, berlangsung selama setengah jam.
Tahun 1957, tanggal 13 Maret, jam 19:14 – 19:16; Hadikusumo (1957) mencatat terjadinya letusan disertai gemuruh, dengan tinggi awan letusan mencapai 3 km diatas kawah. Letusan tahun 1957 ini tercatat sebagai letusan Gunung Gede yang terakhir sampai saat ini.
Kendatipun demikian, kondisi ini bukan merupakan hal yang melegakan, karena merujuk pada sejarah letusan-letusan Gunung Gede yang tidak teratur tersebut, tidak berarti Gunung Gede dapat dinyatakan sudah tidak aktif. Tetap harus diwaspadai akan kemungkinan terjadinya letusan yang lebih hebat saat semakin lama Gunung Gede terbangun dari ‘tidur panjangnya’ sampai sekarang.
Dari kawah yang ditinggalkan akibat letusannya, masih tetap mengeluarkan gas dan uap air belerangnya. Tingkat keasamannya mempengaruhi vegetasi dan hidupan liar disekitarnya. Titik letusan gunung yang relatif baru atau terakhir, telah membuat lobang yang luas di bibir bekas kawah lama (Mandalawangi). Sehingga seandainya terjadi letusan besar, maka lava mungkin akan langsung mengalir menuju kawasan Cibodas.
Tahun 1972, bulan Juli; memang bukanlah sebuah letusan Gunung Gede, tetapi Hamidi (1972, p.3) sempat mengamati perkembangan mulut letusan Gunung Gede tersebut.
Dari Kawah Lanang terlihat adanya asap putih yang agak tebal berbau belerang dengan bersuara mendesis. Lokasi tempat tembusan asap putih ini telah bergeser lebih kurang 10 meter dari lubang asap semula.
Begitu pula di Kawah Ratu, tembusan fumarola (gas alam) terdapat di tebing sebelah utara, asapnya berwarna putih dengan tekanan lemah, karena dasar kawahnya sudah tertutup lumpur.
Sedangkan di Kawah Wadon, tembusan fumarola terdapat di sudut sebelah tenggara, berbau belerang berwarna putih tipis dengan tekanan rendah. Tidak ada perubahan kawah yang menyolok.

LUBANG VULKANIK YANG DISISAKAN

Sudah lebih dari 52 tahun, Gunung Gede tertidur sejak letusan terakhirnya di tahun 1957. Sisa-sisa aktifitas letusannya yang berupa kawah vulkanik pun masih tampak basah dan berasap.
Sejak tahun 1985, Direktorat Vulkanologi terus mengamati aktifitas Gunung Gede Pangrango melalui lubang-lubang vulkanik (kawah) yang disisakan oleh letusan-letusan yang pernah terjadi. Kegiatan pemantauan mitigasi bencana Gunung Gede dilakukan dari Pos Pengamatan Gunungapi yang terletak di Ciloto (4 km dari Puncak Pass).
Perkembangan dan perpindahan dari kawah dicirikan oleh adanya saling perpotongan antara satu kawah dengan kawah yang lainnya. Terdapat 8 kawah yang masih dapat dilihat di kawasan puncak Gunung Gede Pangrango, kendatipun bentuknya mungkin sudah tidak seperti lubang vulkanik berasap. Diantara kedelapan kawah tersebut, Lanang dan Wadon adalah kawah teraktif saat ini.
Kawah Mandalawangi; merupakan kawah terbesar purba yang berdiameter sekitar 3.200 m. Kawah besar purba ini terletak di sisi baratdaya Pucak Pangrango, yang bekas aliran lavanya turun ke arah baratdaya kaki gunungnya. Saat ini kawah purba ini sudah tererupsi dan berevolusi, sehingga sudah tidak mudah terlihat lagi.
Kawah Gumuruh; merupakan kawah besar tua, dengan diameter sekitar 1.600 m. Kawah ini mempunyai bentuk kawah ‘tapal kuda’ yang membuka kearah baratlaut dengan dinding kawah yang terjal setinggi sekitar 50 – 200 m dari dasar kawahnya yang datar dan menyempit di kedua ujungnya. Kawah tua Gumuruh ini dikenal dengan Alun-alun Suryakencana.
Kawah Gede; terletak di dalam kawah Gumuruh dengan diameter sekitar 1000 m. Dindingnya yang terjal mencapai tinggi 200 m, dan kawahnya membuka ke arah utara. Didalam kawah Gede terdapat 3 kawah bagaikan sebuah komplek kawah.
Kawah Sela, terletak di utara kawah Gede dengan diameter sekitar 750 m. Sisi kawahnya sudah tidak terlihat lagi karena erupsi yang lebih muda.
Kawah Wadon, terletak dekat kawah Sela di utara komplek kawah Gede, dengan ukuran panjang sekitar 149 m dan lebar 80 m. Kawah aktif ini dicirikan oleh adanya lapangan solfatara dan fumarola berwarna putih tipis. Kawah Wadon memiliki temperatur maksimum 145oC, minimum 97oC, dengan tekanan gas lemah – kuat.
Kawah Ratu, merupakan kawah terbesar diantara kawah lainnya di dalam komplek kawah Gede. Kawah ini mencapai diameter sekitar 300 m dengan dinding yang curam. Kawah ini adalah lubang peninggalan aktifitas letusan Gunung Gede yang paling aktif saat periode 210 tahun letusannya. Saat ini di kawah Ratu masih terlihat asap solfatara/fumarola yang berwarna putih tipis
Kawah Lanang, merupakan kawah paling aktif yang berdampingan dengan kawah Ratu, berukuran panjang sekitar 230 m dan lebar 170 m, dengan berdinding kawah yang terjal.
Kawah Baru, kawah terbaru yang juga berdampingan dengan kawah Ratu, dan berukuran panjang sekitar 109 m dan lebar 75 m. Aktifitas fumarola di kawah ini tidak terlihat seaktif kawah-kawah lainnya di dalam komplek kawah Gede.

MISTERI GUNUNG GEDE

Seperti kebanyakan wilayah pegunungan lainnya di Indonesia, keberadaan Gunung Gede Pangrango dan sekitarnya tidak pernah lepas dari mitologi, legenda dan cerita-cerita rakyat yang mempengaruhi pola kepercayaan dan budaya masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sampai saat ini masih dapat ditemui rombongan masyarakat yang melakukan aktivitas ziarah ritual di lokasi-lokasi tertentu yang dipercayai memiliki hubungan spiritual dan kekuatan supranatural.
Kadangkala pendaki yang berada di Alun-alun Suryakencana [Map E8 – G7], akan mendengar suara kaki kuda yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Suryakencana datang ke alun-alun dengan dikawal oleh para prajurit. Selain itu para pendaki kadang kala akan melihat suatu bangunan istana.
Banyaknya petilasan peninggalan bersejarah di sekitar Gunung Gede masih dianggap sakral oleh sebagian peziarah sampai saat ini, seperti petilasan Pangeran Suryakencana, putri jin dan Prabu Siliwangi.
Sejarah dan legenda tentang keberadaan roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede yang akan tetap menjaga Gunung Gede, masih menjadi kepercayaan masyarakat setempat sampai saat ini. Pada hari dan waktu tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk bertapa maupun melakukan upacara religius.
Alun-alun Suryakencana berupa sebuah lapangan datar dan luas pada ketinggian 2.750 mdpl yang berada di sebelah timur Puncak Gede, merupakan padang rumput dan padang edelweiss.
Suryakencana adalah nama seorang putra dari Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri Kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra, yaitu Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi.
Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Semasa hidupnya, beliau bersama rakyat jin menjadikan alun-alun di pegunungan ini (disebut Alun-alun Suryakencana) sebagai lumbung padi yang disebut ‘Leuit Salawe’, ‘Salawe Jajar’, serta kebun kelapa yang disebut ‘Salawe Tangkal’ dan ‘Salawe Manggar’.
Batu Kursi [???? mdpl, Trekking Map G?], yang berada di tengah Alun-alun Suryakencana, adalah berupa sebuah batu besar berbentuk pelana, dipercaya sebagai petilasan Singgasana Pangeran Suryakencana. Masyarakat percaya bahwa batu ini dijaga oleh ‘Embah Layang Gading’.
Batu Dongdang [???? mdpl, Trekking Map G?], yang berada di sekitar lereng Gunung Sukaro, adalah berupa sebuah batu sangat besar, dipercaya juga sebagai petilasan Pangeran Suryakencana. Masyarakat percaya bahwa siapa yang bisa memeluk batu tersebut dari sampai pada sisi-sisinya, maka setiap permintannya akan dikabulkan.
Sumber air [???? mdpl, Trekking Map F8] yang berada ditengah alun-alun, dahulu merupakan sebuah jamban untuk keperluan minum dan mandi.
Prabu Siliwangi (salah satu anak Pangeran Suryakencana) bersemayam di dalam hutan yang mengitari Alun-alun Surya Kencana. Tebukti dengan adanya sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi menguasai wilayah Jawa Barat. Pada masa pemerintahannya, terjadi peperangan melawan Kerajaan Majapahit. Selain itu Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat, Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.
Gua Lawa atau Walet yang berada di sekitar Curug Cibeureum [mdpl, Map G? ], dipercaya sebagai tempat penyimpanan harta Pangeran Suryakencana. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul.
Batu besar Sang Petapa Sakti yang berada tepat di tengah-tengah Curug Cikundul di komplek Curug Cibeureum ini konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Masyarakat petapaan meyakini bahwa pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.
Kawah Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga oleh Embah Kalijaga.
Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri atas dua buah batu besar yang berada di Batu Kukus, sebelum lokasi Air Panas yang menuju kearah puncak, dijaga oleh Embah Serah.
Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung Gede, dijaga oleh Eyang Jayakusumah.
Dua buah batu besar yang terletak di halaman parkir kawasan wisata cibodas dijaga oleh Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya.
Makam Eyang Haji Mintarasa di dalam kawasan Kebun Raya Cibodas.
Masyarakat Cimande adalah masyarakat asli Bogor yang masih menjaga dan menghormati kepecayaan terhadap leluhurnya di Gede-Pangrango. Pada hari dan waktu tertentu, mereka bersama masyarakat sekitar kaki Gunung Gede Pangrango biasanya melakukan ritual di lokasi-lokasi bersejarah (situs) di Gunung Gede-Pangrango. Seperti ritual ‘keramasan’ dan ‘sawer tirta’ sesaat sebelum bulan puasa tiba di Alun-alun Suryakencana.

PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Letusan Gunung Gede pada masa lampau telah merusak kawasan vegetasi yang sangat luas, tetapi telah memperkaya tanah dengan tambahan mineral.  Hutan dataran rendah merupkan sistem tertutup, yaitu dengan masukan atau lepasan nutrisi alami yang sangat sedikit.  Hutan pegunungan di Jawa Barat sangat berbeda. Hutan-hutan itu berada dalam sistem terbuka: tanah tercuci oleh hujan, dan sungai dipenuhi oleh batu-batuan yang hancur dan debu-debu vulkanik.  Tanah di lereng yang lebih rendah mendapatkan kesuburan karena cuaca dan adanya kegiatan biologis dibawahnya. Oleh karena itu, tanah tersebut lebih kaya lumpur dan humus daripada tanah dikawasan lebih tinggi.
Sejak abad ke-18, keunikan Gunung Gede dan Pangrango telah menarik perhatian dunia. Dinding kawah di Puncak Gede yang terlihat dari Bogor pada masa itu mengundang orang untuk menengok lebih dekat dan berdiri atas bibir lerengnya. Para peneliti yang pernah mengunjunginya merasa takjub akan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan formasi alam yang mempesona.
Penetapan pegunungan Gede-Pangrango sebagai menjadi taman nasional, tidak terlepas dari sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia melawan VOC dan Pemerintahan Hindia-Belanda, serta kegiatan para peneliti Eropa, hingga terbentuknya danau (situ) gunung, Bergtuin te Tjibodas (Kebun Raya Cibodas), dan hasil penelitian keragaman flora-fauna di pegunungan Gede-Pangrango.

PERJUANGAN RANGGA DJAGAT SYAHDANA (1808 – 1841)

Tahun 1808; Rangga Djagat (Lulunta) Syahdana atau lebih dikenal dengan Embah Djalun (1770 – 1841) seorang tokoh pejuang keturunan Raja Mataram yang disegani dan sangat menentang VOC (Verenigde Oos-Indische Compagnie, 1610 – 1799) yang merupakan sebuah perserikatan perusahaan Republik Belanda saat itu yang memonopoli seluruh perdagangan di Asia.
Rangga Jagat Syahdana meninggalkan Mataram Jawa sejak tahun 1808 untuk bergabung dengan Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon, sampai akhirnya menikah dengan gadis Kuningan (Cirebon).
Pegunungan Gede-Pangrango merupakan markas perjuangannya sekaligus tempat persembunyian dari penyergapan pasukan Pemerintah Belanda. Lereng selatan Gunung Pangrango menjadi tempat strategi perjuangannya, yang ditandai dengan didirikannya sebuah masjid. Kendatipun saat ini masjid tersebut sudah tidak ada, tetapi tempat tersebut sampai sekarang masih disebut dengan nama Gunung Masigit yang berasal dari sebutan ‘masjid’.
Tahun 1811; Pertempuran Sumedanglarang pada tahun 1811, yang menjadi penyerangan terbesar dan membuahkan kemenangan yang dipimpinnya melawan Pemerintah Belanda (pertama), sampai akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Inggris.
Tahun 1817; Rangga Jagat Syahdana dikaruniai anak laki-laki yang sangat diharapkan akan melanjutkan perjuangannya. Sebagai perwujudan kebahagiaan dan kebanggaannya pada keturunannya, maka Rangga Jagat Syahdana bersama masyarakat dan para pejuang, membangun sebuah telaga sebagai kantung air dari pegunungan Gede-Pangrango untuk segala kebutuhan air di sekitar markas peruangannya yang sudah menjadi sebuah desa tersebut, yang akhirnya dinamai dengan Situgunung.
Tahun 1840; Diantara beberapa kali penangkapan yang dilakukan Pemerintah Belanda (kedua), bersamaan dengan meletusnya Gunung Gede yang terbesar di tahun 1840, Rangga Jagat Syahdana kembali ditanggap yang terakhir dan langsung dihukum gantung oleh di sebuah lapangan yang sekarang disebut dengan Alun-alun Cisaat.
Tahun 1841; Hukuman gantungan yang dapat digagalkannya, telah memaksanya untuk melarikan diri ke Banten meninggalkan istri dan anaknya. Perjalanan yang sulit saat itu telah membuatnya jatuh sakit dan meninggal dunia di Bogor.
Tahun 1950; Pemerintah Belanda mengambil alih paksa daerah Situgunung dan memberlakukan kerja paksa untuk membangun kembali danau tersebut sampai seluas 120 hektar, sekaligus bangunan penginapan yang dinamakan Hotel Situ Gunung.

PENELITI BOTANI DAN KURATOR EROPA SELAMA PEMERINTAHAN HINDIA-BELANDA (1728 – 1925)

Tahun 1728; Kawasan pegunungan Gede-Pangrango, mulai dari kawasan Gunung Mas sampai kawasan Puncak Gede dan Pangrango, dijadikan kawasan uji coba penanaman beberapa jenis teh dan sayur-sayuran oleh Pemerintah VOC di Indonesia.
Bahkan sejak tahun 1740 di kaki Gunung Gede, tepatnya di Cipanas, telah dibangun milik pribadi seorang tuan tanah Belanda yang akhirnya sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff, bangunan ini dijadikan sebagai tempat peristirahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Sekarang tempat peristirahatan ini dijadikan Istana Kepresidenan Republik Indonesia, yang dikenal dengan Istana Cipanas.
Tahun 1811; Sir Thomas Stamford Bingley Raffles sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dari Kerjaaan Inggris, selama menjabat sebagai Letnan Gubernur Jawa, sempat mengunjungi Gunung Gede dan membuat kontruksi jalan setapak di sebelah tenggara lereng Gunung Gede, yang sisa-sisanya masih dapat dilihat disana.
Raffles lah yang memulai pembuatan taman bergaya Inggris klasik di halaman istana di Bogor, yang kemudian ditetapkan sebagai Buitenzorg Botanic Garden.
Tahun 1817, tanggal 18 Mei; tidak lama setelah Pemerintah Inggris meninggalkan Indonesia, Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron van der Capellen (1816 – 1826) yang menggantikan Raffless menetapkan Kebun Istana sebagai Buitenzorg Botanic Garden (Kebun Botani Bogor) atas gagasan Prof. C.G.C. Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Kebudayaan dan Penelitian di Pemerintahan Hindia-Belanda pada waktu itu
Tahun 1819, bulan April; Prof. C.G.C. Reinwardt yang juga sebagai ilmuan botani dan kimia Belanda (kebangsaaan Jerman), menyempatkan diri untuk mendaki gunung, dan akhirnya dikenal sebagai orang yang pertama mendaki sampai Puncak Gunung Gede.
Namun demikian Reinwardt mempercayai bahwa seorang geologis sekaligus dokter dari Amerika yang bernama Thomas Horsfield telah mendaki gunung tersebut, tetapi tanggal pastinya tidak diketahui. Sebagai seorang rekan dari pendiri Zoology Society of London, Horsfield mengumpulkan spesimen sejarah alam selama melakukan riset di Jawa dari tahun 1802 sampai 1819.
Pendaki pertama yang tercatat melalui Cibodas dilakukan oleh Blume mendaki lewat Cibeureum, Air Panas dan Kandang Badak, dimana rute tersebut kini banyak digunakan oleh para pendaki. Dari Kandang Badak dia berjalan kearah kawah, menyusuri kaki Gunung Gede yang terjal dan memotong jalan melewati tebing hutan yang curam dan berbahaya, untuk masuk kesebelah utara yang berkahir di Alun-alun Suryakencana. Dari padang rumput tersebut, Blume kemudian membuat jalan pendek yang mengharuskan dia mendaki tebing yang curam dan melewati hutan sub-alpin menuju puncak gunung (sekarang disebut Tanjakan Rantai).
Tahun 1830; Reinwardt membuat gagasan untuk menjadikan seluas lahan yang terletak di Komplek Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Cibodas sebagai Kebun Botani Cibodas (Cibodas Botanical Garden) yang dipersiapkan sebagai tempat introduksi tanaman kina (Cinchona calisaya). Topografi lahan tersebut bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian lokasi rata-rata 1.275 mdpl. Dari data lokasi saat itu didapatkan bahwa tempat ini bersuhu udara 17 – 27oC, dan bercurah hujan rata-rata 2.380 mm per tahun.
Ahli botani dan kurator Belanda, Johannes Elias Teysjmann tertarik untuk melanjutkan aktifitas kakeknya (1830 – 1839) yang rajin menanam bibit pohon terutama buah-buahan di Botanical Garden Cibodas.
Tahun 1839, April 1839; seorang Jerman, F.W. Junghuhn (1839-1861) melakukan pendakian dan telah menemukan sebuah kawah kecil di Puncak Gede.
Dalam catatannya, Junghuhn menemukan dua ekor badak jawa di dekat puncak gunung (sekarang dikenal dengan nama Kandang Badak, 2.436 mdpl), dimana seekor sedang berendam di suatu sungai kecil dan yang lain sedang merumput di pinggir sungai. Selain itu ditemukan juga banteng jawa dan rusa jawa di pegunungan ini.
Akhirnya penghargaan sebagai pendaki pertama Gunung Gede-Pangrango pun diberikan kepadanya dengan sangat kontroversial. Karena beberapa tahun sebelumnya, pada bulan Agustus 1821, Heinrich Kuhl dan J. van Hasselt, dua orang biologis muda yang bekerja di Netherlands Commission for Natural Sciences, telah menulis surat kepada Pemerintah Hindia-Belanda, yang menggambarkan bagaimana mereka mengikuti jejak badak menuju ke Puncak Gede-Pangrango.
Junghuhn sangat meragukan kedua biologis muda tersebut, karena mereka gagal menjelaskan tentang sejenis bunga ros (theimerial rose) yang merupakan jenis tanaman yang spektakuler saat itu, dan hanya tumbuh di kawah Gunung Pangrango (kawah Gunung Mandalawangi tua).
Sehingga sampai sekarang identitas dari pendaki pertama yang menjejakan kaki di Puncak Gede dan Pangrango tidak akan pernah diketahui. Bukanlah Junghuhn, Kuhl, Hasselt, Horsfield, Reinwardt, maupun Raffles yang sejak tahun 1980-an menjajal Pegunungan Gede-Pangrango di Indonesia.  Mungkin mereka yang menganut agama Hindu dari Kerajaan Pajajaran, atau mungkin anggota masyarakat yang lebih tua dari masyarakat Kerajaan Pajajaran yang menghuni tanah jawa inilah yang menjadi pendaki sekaligus menghuni Puncak Gede maupun Pangrango (Mandalawangi tua). Hal ini dibuktikan dengan adanya situs petilasan masyarakat kuno di Alun-alun Suryakencana, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Indonesia. Tidak diragukan lagi, siapapun yang telah melihat ke bawah dari puncak gunung tersebut, dapat tergambarkan bagaimana tanah Jawa waktu silam lebih dari setengah juta tahun yang lalu.
Tahun 1839; Johannes Elias Teysjmann yang saat itu menjadi Direktur Cibodas Botanical Garden, mendukung pernyataan Heinrich Kuhl dan J. van Hasselt, dengan mendaki Gunung Gede-Pangrango berdasarkan surat dari kedua orang biologis Netherland tersebut.
Pertentangan yang dibiarkan berlarut-larut menjadi semakin buruk dengan adanya kritikan Junghuhn yang tajam terhadap Teysmann yang membuka lahan hutan dalam rangka menanam tumbuhan dari luar. Sayangnya Heinrich Kuhl dan J. van Hasselt tidak dapat diajak berunding karena mereka meninggal di Bogor pada usia muda yaitu 24 dan 26 tahun karena penyakit daerah tropis.
Teysmann pun sempat membangun sebuah rumah peristirahatan di Kandang Badak (2.436 mdpl), dengan kebun tanaman sayuran, taman bunga, dan pepohonan. Kendatipun akhirnya hancur tertimpa bebatuan besar yang dilontarkan dari Letusan Gunung Gede pada tanggal 28 Mei 1852.
Sampai saat ini, bekas peninggalan bekas pondasi bangunan tersebut masih dapat dijumpai di sekitar Kandang Batu. Tanaman bunga mawar dan pohon cemara yang bukan merupakan habitat asli ekosistem sub-alpin (2.400 – 3.019 mdpl) masih dapat ditemukan disini.
Tahun 1852; Aklimatisasi kina yang didatangkan dari Bolivia, Amerika Selatan di Botanical Garden Cibodas. Seiring dengan waktu dibawanya bibit kina pertama kali dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 11 April 1852, maka sejak tanggal itu diperingati sebagai hari lahirnya Kebun Raya Cibodas sampai sekarang.
Introduksi kina di Botanical Garden Cibodas dinyatakan gagal, karena kondisi tanahnya tidaklah cocok. Kina di sini tidak dapat tumbuh dengan optimal bahkan mati.
Kendatipun demikian, percobaan ini menjadi sejarah cikal bakal sebaran tanaman kina pertama kali di Indonesia.
Tahun 1861; A.R. Wallace menjadi salah satu pendaki Gunung Gede berikutnya pasca letusan besar Gunung Gede tahun 1852 – 1853 yang menghancurkan vegetasi di kawasan ini.
Tahun 1862; Melihat pengalaman Botanical Garden Bogor (Kebun Raya Bogor/KRB) saat itu, Teysjmann menambah terus tumbuhan di Cibodas, dan menjadikannya lokasi aklimatisasi bagi jenis-jenis tetumbuhan baru didatangkan dari luar negeri, yang bernilai penting dan berekonomi tinggi, dan akan dibudidayakan di Indonesia, tetapi tak bisa tumbuh di KRB.
Kekayaan koleksi tumbuhan dataran tinggi basah tropika di Botanical Garden Cibodas ini, telah membuat Pemerintah Hindia-Belanda menetapkannya sebagai Bergtuin te Tjibodas atau Kebun Pegunungan Cibodas yang merupakan cabang dari Botanical Garden Bogor.
Tahun 1889; Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan kawasan hutan pegunungan Gede-Pangrango, tepatnya kawasan seluas 240 hektar antara Bergtuin te Tjibodas dan Air Panas sebagai Suaka Alam Cibodas.
Tahun 1890, 1891, dan 1911; S.H. Koorders, M. Treub, dan W.M. van Leeuen melengkapi sejarah pendakian Gunung Gede-Pangrango.
Tahun 1920 – 1952; C.G.G.J. van Steenis membuat koleksi tumbuhan dari kawasan pegunungan Gede-Pangrango, sebagai dasar penyusunan buku “The Mountain Flora of Java” yang diterbitkan tahun 1972.
Tahun 1925,tanggal 15 Januari; Pemerintah Hindia-Belanda memperluas kawasan Cagar Alam Cibodas hingga seluas 1.040 hektar yang mencapai Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung Pangrango dan sekitarnya.

PEMERINTAHAN INDONESIA (1975 – 2003)

Tahun 1975, tanggal 27 November; Pemerintah Republik Indonesia melalui ketetapan Menteri Pertanian menetapkan wilayah Situgunung seluas 100 hektar sebagai kawasan Cagar Alam Situgunung.
Tahun 1977; Tingginya nilai keanekaragaman hayati di kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango juga yang mendorong UNESCO untuk menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional.
Tahun 1978; Pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan menetapkan kawasan seluas 14.000 hektar, yang terdiri dari dua puncak utama dan lereng Gunung Gede dan Pangrango yang luas sampai Cagar Alam Situgunung, sebagai Cagar Alam Gunung Gede Pangrango.
Tahun 1980, tanggal 6 Maret; Menteri Pertanian Republik Indonesia memperluas Cagar Alam Gunung Gede Pangrango sampai 15.196 hektar, yang meliputi Cagar Alam Cibodas, Cagar Alam Cimungkat, dan Cagar Alam Situgunung, dan mendeklarasikannya sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, bersamaan dengan empat kawasan taman nasional di Indonesia pertama lainnya.
Tahun 2003, tanggal 10 Juni; Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diperluas menjadi 21.975 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

6 comments:

giartyblog said...
This comment has been removed by the author.
giartyblog said...

Blognya keren.....adem dan hijau..Bermanfaat.

Abdul Aziz said...

keren lah, untuk menambah ilmu :)

Unknown said...

Keren gan ������

NRL! said...

Saran. Akan lbh keren lg kalo disertai poto2 nya.

NRL! said...

Saran. Akan lbh keren lg kalo disertai poto2 nya.

Post a Comment