SEJARAH TERBENTUKNYA PEGUNUNGAN GEDE-PANGRANGO
Berdasarkan
penelitian Direktorat Vulkanologi, lapisan-lapisan batuan pembentuk Pegunungan
Gede-Pangrango, menunjukan bahwa awal pembentukan pegunungan ini adalah akibat
tubrukan antara lempeng continental (eurasian) dengan lempeng oceanic
(benua besar di bawah Australia). Pada saat benturan terjadi, lempeng oceanic yang lebih berat tenggelam atau
tertindih lempeng continental,
sedangkan lempeng continental
terangkat ke atas dan membentuk pegunungan.
Lempeng
oceanic tenggelam sampai ke lapisan
kerak bumi dan meleleh karena panas. Dengan melelehnya batuan tersebut
menyebabkan kepadatan disekitarnya menjadi kurang, sehingga permukaan bumi
amblas dan membentuk lubang-lubang kepundan.
Gunung
tertua di kawasan Pegunungan Gede-Pangrango ini, nampaknya adalah Gunung
Gegerbentang dan disusul kemudian Gunung Mandalawangi dan Gunung Gemuruh.
Tuanya Gunung Gegerbentang saat ini hanya terlihat seperti salah satu lereng
Gunung Pangrango saja, padahal sebenarnya Gunung Gegerbentang merupakan gunung
api tersendiri, yang dibuktikan dengan adanya peninggalan jejak dua kawah tua (sudah tererupsi, dan tidak terlihat seperti
lubang vulkanik berasap), yang posisinya terletak diantara Puncak Pass dan
Gunung Pangrango.
Sedang
Gunung Mandalawangi pada awalnya merupakan gunung api yang sangat besar dan
meletus dengan sangat dasyat. Lavanya mengalir ke segala arah, bahkan batuannya
menyebar sampai ke kaki Gunung Salak dan Kota Bogor. Saat ini Gunung
Mandalawangi seakan sudah tidak terlihat lagi, kecuali hanya jejaknya saja yang
berupa ‘kawah besar purba’ (sudah
tererupsi, dan tidak terlihat lagi seperti lubang vulkanik berasap), dan
anak gunungnya yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pangrango.
Begitu
pula dengan Gunung Gemuruh yang pada awalnya merupakan gunung api tersendiri berdampingan
dengan Gunung Mandalawangi. Gunung Gemuruh pun saat ini seakan hanya disebut
sebagai salah satu bukit di kawasan Puncak Gede yang membentengi lembah
suryakencana saja. Letusannya pun menyisakan jejak sebuah ‘kawah tua’ (sudah tererupsi, dan tidak terlihat seperti
lubang vulkanik berasap), yang sekarang disebut dengan Alun-alun
Suryakencana, dan anak gunungnya yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Gede.
Masyarakat
sekitar pegunungan Gede-Pangrango masih banyak menggunakan Mandalawangi sebagai
nama kampung atau daerahnya. Begitu pula nama salah satu kantor area (resort)
TNGGP di Cibodas pun diberi nama Resort Mandalawangi. Hal ini terkait dengan
sejarah dan kebesaran gunung tua Mandalawangi tersebut.
Sehingga dengan merujuk pada
sejarah pembentukannya, lereng Gunung Pangrango yang selama ini disebut,
sebenarnya adalah Gunung Mandalawangi (Pangrango tua) yang di salah satu bibir
bekas kawah (puncak) gunungnya tumbuh gunung baru yang dinamai puncak Gunung
Pangrango. Sedangkan anggapan adanya Gunung Mandalawangi yang selama ini
puncaknya terlihat berdampingan dengan puncak Gunung Pangrango, sebenarnya
adalah salah satu bibir ‘kawah besar purba Mandalawangi’. Sama halnya dengan
Gunung Masigit yang bersejarah dan puncaknya terlihat dekat dengan puncak Gunung
Pangrango, yang sebenarnya juga merupakan salah satu bibir ‘kawah besar purba
Mandalawangi’ tertinggi.
Sedangkan Gunung Gemuruh (Gede
tua) yang selama ini puncaknya terlihat berdampingan dengan puncak Gunung Gede,
sebenarnya adalah salah satu bibir ‘kawah Gemuruh tua’ tertinggi. Sama halnya
dengan Gunung Sukaro yang puncaknya berdampingan dengan puncak Gunung Gemuruh,
yang sebenarnya juga merupakan salah satu bibir ‘kawah Gemuruh tua’.
Gunung Gede dan Pangrango yang
dikenal selama ini termasuk ‘gunung muda’, yang merupakan generasi gunung api
keempat yang terbentuk sekitar 3 juta tahun lalu. Gunung Gede yang mencapai
tinggi 2.985 mdpl adalah salah satu gunung di kawasan pegunungan ini yang
paling aktif mengeluarkan letusan dalam kurun waktu 210 tahun. Sementara Gunung
Pangrango yang berumur lebih tua, lebih luas, dan lebih tinggi, telah
dinyatakan tidak aktif.
Diduga rempahan hasil aktifitas
letusan Gunung Gemuruh (Gede tua) adalah berupa sebaran 777 bukit. Sebaran 777
bukit ini diduga akibat letusan hebat disertai longsoran dinding yang kemudian
diendapkan berupa bukit-bukit kecil.
Saat
ini, gunung-gunung yang puncaknya secara umum sudah dikenal dan masih dapat
dilihat dalam kawasan Pegunungan Gede-Pangrango, antara lain Pangrango (3.019 mdpl), Gede (2.958 mdpl), Gumuruh (2.929 mdpl), Sela (2.709 mdpl), Sukaro (2.703 mdpl),
Mandalawangi (2.700
mdpl), Masigit (2.500 mdpl), Lingkung (2.001 mdpl), Gegerbentang (2.000
mdpl), serta beberapa
gunung kecil dan perbukitan lainnya.
LETUSAN GUNUNG GEDE
Tercatat 210 tahun, sejak tahun 1747 sampai 1957, telah terjadi lebih
dari 50 kali letusan-letusan kecil Gunung Gede, secara tidak teratur. Sejarah
letusan Gunung Gede tercatat oleh Junghun (1843) dan Taverne (1926), yang
diuraikan dalam Kusumadinata K. dan Hamidi S. (1979). Diterangkan bahwa letusan
Gunung Gede umumnya kecil dan singkat, serta mengeluarkan abu atau pasir halus,
kecuali yang terjadi pada tahun 1747–1748 yang diduga mengeluarkan dua aliran
lava dari Kawah Lanang.
Tahun
1747-1748; Junghuhn (1854) mencatat letusan Gunung Gede yang pertama. Letusan
yang terjadi sangat hebat hingga menyebabkan 2 aliran lava yang keluar dari
Kawah Lanang. Sekitar 260 tahun lalu, letusan gunung ini membentuk aliran lava
sepanjang 2 km lurus sampai dinding tebing Air Panas (2.130 mdpl, sekitar 5 km
jalur long trekking dari Komplek
Kantor Resort Mandalawangi Cibodas). Diperkirakan aliran lava inilah, yang
telah menjadi sumber Air Panas tersebut, sampai sekarang.
Tahun
1761; Junghuhn (1854) mencatat adanya letusan kecil yang menghasilkan hanya
sedikit abu.
Tahun
1780; Gunung Gede kembali mengeluarkan letusan-letusan kecil, dan akhirnya tertidur sementara sampai 52 tahun
kemudian.
Tahun
1832, tanggal 29 Agustus; awan asap raksasa mengepul dari kawah yang terlihat
dari Bogor. Pada jam 11:00 – 12:00, akibat lutusan ini menyebabkan hujan abu
deras yang sangat halus dan berwarna kehitam-hitaman, serta berhembus ke arah
Jakarta (Betawi).
Tahun
1840, Gunung Gede seakan terbangun dari tidurnya dengan letusan yang lebih
dahsyat dari sebelumnya. Aktifitas letusan selama lima bulanan ini menjadi
sejarah letusan Gunung Gede terbesar dibandingkan dengan letusan-letusan Gunung
Gede lainnya yang telah terjadi dalam kurun waktu 210 tahun masa aktif letusan
Gunung Gede.
tanggal 12 November,
jam 03:00 pagi; Hasskarl dan Junghuhn (1854) mencatat terjadinya beberapa kali
letusan hebat secara tiba-tiba, yang disertai suara gemuruh dan goncangan tanah
hebat. Semburan api setinggi lebih kurang 50 m diatas kawah telah menghebohkan
desa-desa disekitarnya. Kepulan asap dan semburan gas panas menuju
lereng barat gunung hingga
hampir mencapai Kebun Raya Cibodas. Sejumlah besar batu membara dilontarkan
dari kawah dan sebuah tiang asap hitam naik tinggi ke udara, abu menghujani
daerah Bogor.
tanggal 14 November
1840; Gunung Gede seakan belum mau berhenti mengingatkan manusia terhadap
eksistensinya, dengan memuntahkan bebatuan besar yang berdiameter lebih dari 1
meter ke luar dari perutnya dan abunya terbawa hingga sejauh 20 km. Sebuah batu
yang berukuran sangat besar mendarat dengan sangat kuatnya di sekitar Curug
Cibeureum Cibodas (1.625 mdpl, 2,8 km dari jalur short trekking dari Komplek Kantor Resort Mandalawangi Cibodas)
yang menyebabkan terbentuknya lubang sedalam 4 m.
tanggal 22 Nopember,
jam 01:00 pagi, bumi berguncang dan terdengar suara keras selama asap dan
bongkah puing lava dimuntahkan. Keesokan harinya puncak gunung seakan-akan
seluruhnya menyala, bagaikan lapangan alang-alang yang terbakar.
tanggal 1 Desember,
jam 06:00 pagi; letusan paroksisma terjadi disertai hujan kerikil dan awan
debu. Terdengar suara bagaikan guntur dengan tiang api mencapai lebih kurang
200 m diatas tepi kawah menyerupai sosok ‘pohon raksasa’. Awan asapnya mencapai ketinggian sekitar
2000 m diatas puncak gunung.
tanggal 3 Desember,
jam 18:00 sore; letusan dan gemuruh disertai hujan kerikil dan awan debu.
tanggal 11 Desember
1840, jam 02:00 pagi;letusan Gunung Gede menjadi sangat intens disertai gemuruh
besar dan hujan abu yang menutupi cahaya matahari, seperti halnya energi statis
pada abu yang diberi listrik sehingga mengeluarkan energi.
Tahun
1841, bulan Maret; menjadi rentetan terakhir letusan Gunung Gede yang dimulai
sejak November 1840.
Hasskarl seorang
peneliti dari Eropa, sempat mengamati dan melihat dari dekat kerusakan dan
kehancuran yang diakibatkan oleh aktifitas lutusan Gunung Gede. Seluruh
pepohonan dan tetumbuhan bawah di kawasan ini rusak, terutama di bagian puncak
(di atas lokasi Air Panas) yang sebagian terbakar dan hancur akibat letusan
lava panas dan guncangan vulkanik yang sangat hebat.
Tahun
1843, tanggal 28 Juli, jam 23:30 hujan abu tipis.
Tahun
1845, tanggal 23 Januari, jam 10:30; tampak sebuah tiang asap naik dari kawah,
disertai suara bergemuruh.
tanggal 5 Maret, jam
22:30; aktifitas serupa dengan bulan Januari terjadi lagi.
Tahun
1847, tanggal 17 – 18 Oktober; malam hari hujan abu tipis jatuh di Bogor.
Tahun 1848, tanggal 8 Mei; pagi hari tiba-tiba muncul tiang asap tebal
dari Kawah Gede.
Tahun
1852, tanggal 28 Mei; sejumlah besar batu berdiameter 2 hingga 12 kaki dan abu
dilontarkan. Letusan Gunung Gede menghancurkan sebuah rumah peristirahatan dan
kebun yang pernah dibangun Belanda di Kandang Badak (2.436 mdpl, sekitar 6,5 km
jalur long trekking dari Komplek
Kantor Resort Mandalawangi Cibodas), akibat ditertimpa batu yang sangat besar.
Tahun
1853, tanggal 14 Maret, antara jam 07:00 – 09:00 tiang awan membumbung.
Tahun
1866, tanggal 18 September; terjadi letusan kecil yang mengeluarkan hujan abu.
Tahun
1870, tanggal 29 Agustus – 30 September; Puncak Gunung Gede terlihat
mengeluarkan bara api, uap asap sangat tebal.
tanggal 3 Oktober,
jam 09:45; terdengar ledakan kuat.
Tahun
1885; bulan Januari dan Februari; Gunung Gede kembali mengeluarkan gemuruh.
Tahun
1886, tanggal 10 Juni – 16 Agustus; terjadi ledakan dan dentuman, disertai
hujan abu setebal 50 cm yang disemburkan sejauh 500 meter dari kawah, hingga
menghancurkan hampir seluruh vegetasi disekitarnya.
Tahun
1887, tanggal 22 Oktober; Gunung Gede kembali mengeluarkan letusan kecilnya.
Tahun
1888; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun
1889; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun
1891; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun
1899, tanggal 1 – 14 Mei; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara gemuruh sampai
terlihat sinar api di malam hari.
Tahun
1900; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara bergemuruh.
Tahun
1909, tanggal 2 Mei; Gunung Gede kembali mengeluarkan suara gemuruh disertai
hujan abu.
Taverne (1926)
menceritakan bahwa gemuruh yang dikeluarkan Gunung Gede sama sekali tidak
berarti, dan hanya terbatas pada hujan abu yang tipis selama 1 atau 2 hari
saja. Neumann van Padang (1951, p.72 – 74) mencantumkan bahwa letusan ini
adalah esplosi normal yang terjadi di kawah pusat.
Tahun
1946, tanggal 19 – 20 Desember; tampak asap membumbung dari Kawah Ratu.
Tahun
1947, tanggal 2 September; letusan kecil dari Kawah Ratu.
tanggal 27
September, pukul 09:00 dan 09:30; terjadi awan letusan setinggi lebih kurang 500
m disertai hujan abu tipis.
tanggal 17 Oktober,
jam 20:30, 20:40; dan 21:00 letusan pendek.
tanggal 1 Nopember,
jam 13:40; letusan pendek.
tanggal 15 Nopember,
jam 12:15 letusan pendek.
tanggal 28 November,
jam 11:25; letusan selama 2 – 3 menit.
tanggal 30 Nopember,
jam 21:27; letusan selama 3 menit.
Tahun
1948, tanggal 8 Januari, jam 00:20; letusan selama 3 menit dan semburan pasir
dan lapili.
tanggal 11 Januari,
jam 21.50; letusan selama 20 detik.
tanggal 17 Januari,
jam 15.45; terjadi letusan pendek.
tanggal 22 Januari,
jam 00:45; dan 01:00 terjadi letusan pendek.
tanggal 25 Januari,
jam 07:30; dan 07:32 terjadi letusan selama 3 menit (Berlage, 1948).
tanggal 28 Januari,
jam 04:23; letusan pendek.
tanggal 12 Nopember,
jam 11:28; letusan dengan awan abu setinggi 5000 m.
tanggal 16 Nopember,
jam 06:45; terjadi letusan dengan awan abu kelabu.
tanggal 20 Nopember,
jam 03:45; terjadi letusan pendek.
tanggal 23 Nopember,
jam 07:00; tiga letusan dengan awan letusan setinggi 2500 m (Adnawidjaja,
1948).
Tahun
1949, tanggal 17 Januari dan 5 Februari, letusan kecil dari kawah pusat
(Neumann van Padang, 1951).
Tahun
1955, tanggal 21 Juli; Djatikoesoemo (1955) mencatat adanya letusan kecil
Gunung Gede.
tanggal 2 Agustus,
jam 00:20; Djajawinangun (1955) mencatat adanya asap tebal hitam pekat tampak
menyembur setinggi 300 – 400 m.
Tahun
1956, tanggal 28 April, jam 07:00; Hadikusumo (1957) mencatat adanya awan abu
tebal berwarna hitam disertai dengan sinar, berlangsung selama setengah jam.
Tahun
1957, tanggal 13 Maret, jam 19:14 – 19:16; Hadikusumo (1957) mencatat
terjadinya letusan disertai gemuruh, dengan tinggi awan letusan mencapai 3 km
diatas kawah. Letusan tahun 1957 ini tercatat sebagai letusan Gunung Gede yang
terakhir sampai saat ini.
Kendatipun demikian,
kondisi ini bukan merupakan hal yang melegakan, karena merujuk pada sejarah
letusan-letusan Gunung Gede yang tidak teratur tersebut, tidak berarti Gunung
Gede dapat dinyatakan sudah tidak aktif. Tetap harus diwaspadai akan
kemungkinan terjadinya letusan yang lebih hebat saat semakin lama Gunung Gede terbangun dari ‘tidur panjangnya’ sampai sekarang.
Dari kawah yang
ditinggalkan akibat letusannya, masih tetap mengeluarkan gas dan uap air
belerangnya. Tingkat keasamannya mempengaruhi vegetasi dan hidupan liar
disekitarnya. Titik letusan gunung yang relatif baru atau terakhir, telah
membuat lobang yang luas di bibir bekas kawah lama (Mandalawangi). Sehingga
seandainya terjadi letusan besar, maka lava mungkin akan langsung mengalir
menuju kawasan Cibodas.
Tahun
1972, bulan Juli; memang bukanlah sebuah letusan Gunung Gede, tetapi Hamidi
(1972, p.3) sempat mengamati perkembangan mulut letusan Gunung Gede tersebut.
Dari Kawah Lanang
terlihat adanya asap putih yang agak tebal berbau belerang dengan bersuara
mendesis. Lokasi tempat tembusan asap putih ini telah bergeser lebih kurang 10
meter dari lubang asap semula.
Begitu pula di Kawah
Ratu, tembusan fumarola (gas alam) terdapat di tebing sebelah utara, asapnya
berwarna putih dengan tekanan lemah, karena dasar kawahnya sudah tertutup
lumpur.
Sedangkan di Kawah
Wadon, tembusan fumarola terdapat di sudut sebelah tenggara, berbau belerang
berwarna putih tipis dengan tekanan rendah. Tidak ada perubahan kawah yang
menyolok.
LUBANG VULKANIK YANG DISISAKAN
Sudah lebih dari 52 tahun,
Gunung Gede tertidur sejak letusan terakhirnya di tahun 1957. Sisa-sisa
aktifitas letusannya yang berupa kawah vulkanik pun masih tampak basah dan
berasap.
Sejak tahun 1985,
Direktorat Vulkanologi terus mengamati aktifitas Gunung Gede Pangrango
melalui lubang-lubang vulkanik (kawah) yang disisakan oleh letusan-letusan yang
pernah terjadi. Kegiatan pemantauan mitigasi bencana Gunung Gede dilakukan dari
Pos Pengamatan Gunungapi yang terletak di Ciloto (4 km dari Puncak Pass).
Perkembangan dan perpindahan dari
kawah dicirikan oleh adanya saling perpotongan antara satu kawah dengan kawah
yang lainnya. Terdapat 8 kawah yang masih dapat dilihat di kawasan puncak
Gunung Gede Pangrango, kendatipun bentuknya mungkin sudah tidak seperti lubang
vulkanik berasap. Diantara kedelapan kawah tersebut, Lanang dan Wadon adalah
kawah teraktif saat ini.
Kawah
Mandalawangi; merupakan kawah terbesar purba yang berdiameter sekitar 3.200 m.
Kawah besar purba ini terletak di sisi baratdaya Pucak Pangrango, yang bekas
aliran lavanya turun ke arah baratdaya kaki gunungnya. Saat ini kawah purba ini
sudah tererupsi dan berevolusi, sehingga sudah tidak mudah terlihat lagi.
Kawah
Gumuruh; merupakan kawah besar tua, dengan diameter sekitar 1.600 m. Kawah ini
mempunyai bentuk kawah ‘tapal kuda’ yang membuka kearah baratlaut dengan
dinding kawah yang terjal setinggi sekitar 50 – 200 m dari dasar kawahnya yang
datar dan menyempit di kedua ujungnya. Kawah tua Gumuruh ini dikenal dengan Alun-alun
Suryakencana.
Kawah
Gede; terletak di dalam kawah Gumuruh dengan diameter sekitar 1000 m.
Dindingnya yang terjal mencapai tinggi 200 m, dan kawahnya membuka ke arah
utara. Didalam kawah Gede terdapat 3 kawah bagaikan sebuah komplek kawah.
Kawah
Sela, terletak di utara kawah Gede dengan diameter sekitar 750 m. Sisi kawahnya
sudah tidak terlihat lagi karena erupsi yang lebih muda.
Kawah
Wadon, terletak dekat kawah Sela di utara komplek kawah Gede, dengan ukuran
panjang sekitar 149 m dan lebar 80 m. Kawah aktif ini dicirikan oleh adanya
lapangan solfatara dan fumarola berwarna putih tipis. Kawah Wadon memiliki
temperatur maksimum 145oC, minimum 97oC, dengan tekanan
gas lemah – kuat.
Kawah
Ratu, merupakan kawah terbesar diantara kawah lainnya di dalam komplek kawah
Gede. Kawah ini mencapai diameter sekitar 300 m dengan dinding yang curam.
Kawah ini adalah lubang peninggalan aktifitas letusan Gunung Gede yang paling
aktif saat periode 210 tahun letusannya. Saat ini di kawah Ratu masih terlihat
asap solfatara/fumarola yang berwarna putih tipis
Kawah
Lanang, merupakan kawah paling aktif yang berdampingan dengan kawah Ratu,
berukuran panjang sekitar 230 m dan lebar 170 m, dengan berdinding kawah yang
terjal.
Kawah
Baru, kawah terbaru yang juga berdampingan dengan kawah Ratu, dan berukuran
panjang sekitar 109 m dan lebar 75 m. Aktifitas fumarola di kawah ini tidak
terlihat seaktif kawah-kawah lainnya di dalam komplek kawah Gede.
MISTERI GUNUNG GEDE
Seperti kebanyakan wilayah
pegunungan lainnya di Indonesia, keberadaan Gunung Gede Pangrango dan
sekitarnya tidak pernah lepas dari mitologi, legenda dan cerita-cerita rakyat
yang mempengaruhi pola kepercayaan dan budaya masyarakat sekitar Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Sampai saat ini masih dapat ditemui rombongan masyarakat
yang melakukan aktivitas ziarah ritual di lokasi-lokasi tertentu yang
dipercayai memiliki hubungan spiritual dan kekuatan supranatural.
Kadangkala pendaki yang
berada di Alun-alun Suryakencana [Map E8 – G7], akan mendengar suara kaki kuda
yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini
pertanda Pangeran Suryakencana datang ke alun-alun dengan dikawal oleh para
prajurit. Selain itu para pendaki kadang kala akan melihat suatu bangunan
istana.
Banyaknya petilasan
peninggalan bersejarah di sekitar Gunung Gede masih dianggap sakral oleh
sebagian peziarah sampai saat ini, seperti petilasan Pangeran Suryakencana,
putri jin dan Prabu Siliwangi.
Sejarah dan legenda tentang
keberadaan roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede yang akan
tetap menjaga Gunung Gede, masih menjadi kepercayaan masyarakat setempat sampai
saat ini. Pada hari dan waktu tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa
sekitar Gunung Gede untuk bertapa maupun melakukan upacara religius.
Alun-alun Suryakencana berupa sebuah
lapangan datar dan luas pada ketinggian 2.750 mdpl yang berada di sebelah timur
Puncak Gede, merupakan padang rumput dan padang edelweiss.
Suryakencana adalah nama seorang
putra dari Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri Kota Cianjur) yang beristrikan
seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra, yaitu Prabu Sakti
dan Prabu Siliwangi.
Kawasan Gunung Gede merupakan tempat
bersemayam Pangeran Suryakencana. Semasa hidupnya, beliau bersama rakyat jin
menjadikan alun-alun di pegunungan ini (disebut Alun-alun Suryakencana) sebagai
lumbung padi yang disebut ‘Leuit Salawe’, ‘Salawe Jajar’, serta kebun kelapa
yang disebut ‘Salawe Tangkal’ dan ‘Salawe Manggar’.
Batu Kursi [???? mdpl, Trekking Map
G?], yang berada di tengah Alun-alun Suryakencana, adalah berupa sebuah batu
besar berbentuk pelana, dipercaya sebagai petilasan Singgasana Pangeran
Suryakencana. Masyarakat percaya bahwa batu ini dijaga oleh ‘Embah Layang Gading’.
Batu Dongdang [???? mdpl, Trekking
Map G?], yang berada di sekitar lereng Gunung Sukaro, adalah berupa sebuah batu
sangat besar, dipercaya juga sebagai petilasan Pangeran Suryakencana.
Masyarakat percaya bahwa siapa yang bisa memeluk batu tersebut dari sampai pada
sisi-sisinya, maka setiap permintannya akan dikabulkan.
Sumber air [???? mdpl, Trekking Map
F8] yang berada ditengah alun-alun, dahulu merupakan sebuah jamban untuk
keperluan minum dan mandi.
Prabu Siliwangi (salah satu anak
Pangeran Suryakencana) bersemayam di dalam hutan yang mengitari Alun-alun Surya
Kencana. Tebukti dengan adanya sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam
Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi menguasai wilayah
Jawa Barat. Pada masa pemerintahannya, terjadi peperangan melawan Kerajaan
Majapahit. Selain itu Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan
Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat, Prabu
Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.
Gua Lawa atau Walet yang berada di
sekitar Curug Cibeureum [mdpl, Map G? ], dipercaya sebagai tempat penyimpanan
harta Pangeran Suryakencana. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul.
Batu besar Sang Petapa Sakti yang
berada tepat di tengah-tengah Curug Cikundul di komplek Curug Cibeureum ini
konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama
dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Masyarakat petapaan meyakini bahwa
pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.
Kawah Gunung Gede yang terdiri dari,
Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga oleh Embah Kalijaga.
Lawang Seketeng (pintu jaga) yang
terdiri atas dua buah batu besar yang berada di Batu Kukus, sebelum lokasi Air
Panas yang menuju kearah puncak, dijaga oleh Embah Serah.
Gunung Sela yang berada disebelah
utara puncak Gunung Gede, dijaga oleh Eyang Jayakusumah.
Dua buah batu besar yang terletak di
halaman parkir kawasan wisata cibodas dijaga oleh Eyang Jayarahmatan dan Embah
Kadok. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu
menghancurkannya.
Makam Eyang Haji Mintarasa di dalam
kawasan Kebun Raya Cibodas.
Masyarakat Cimande adalah masyarakat
asli Bogor yang masih menjaga dan menghormati kepecayaan terhadap leluhurnya di
Gede-Pangrango. Pada hari dan waktu tertentu, mereka bersama masyarakat sekitar
kaki Gunung Gede Pangrango biasanya melakukan ritual di lokasi-lokasi
bersejarah (situs) di Gunung Gede-Pangrango. Seperti ritual ‘keramasan’ dan
‘sawer tirta’ sesaat sebelum bulan puasa tiba di Alun-alun Suryakencana.
PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
Letusan Gunung Gede pada masa
lampau telah merusak kawasan vegetasi yang sangat luas, tetapi telah memperkaya
tanah dengan tambahan mineral. Hutan
dataran rendah merupkan sistem tertutup, yaitu dengan masukan atau lepasan
nutrisi alami yang sangat sedikit. Hutan
pegunungan di Jawa Barat sangat berbeda. Hutan-hutan itu berada dalam sistem
terbuka: tanah tercuci oleh hujan, dan sungai dipenuhi oleh batu-batuan yang
hancur dan debu-debu vulkanik. Tanah di
lereng yang lebih rendah mendapatkan kesuburan karena cuaca dan adanya kegiatan
biologis dibawahnya. Oleh karena itu, tanah tersebut lebih kaya lumpur dan
humus daripada tanah dikawasan lebih tinggi.
Sejak abad ke-18, keunikan Gunung Gede dan Pangrango telah menarik
perhatian dunia. Dinding kawah di Puncak Gede yang terlihat dari Bogor pada
masa itu mengundang orang untuk menengok lebih dekat dan berdiri atas bibir
lerengnya. Para peneliti yang pernah mengunjunginya merasa takjub akan keanekaragaman
hayati yang luar biasa dan formasi alam yang mempesona.
Penetapan pegunungan
Gede-Pangrango sebagai menjadi taman nasional, tidak terlepas dari sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia melawan VOC dan Pemerintahan Hindia-Belanda, serta
kegiatan para peneliti Eropa, hingga terbentuknya danau (situ) gunung, Bergtuin te Tjibodas (Kebun Raya
Cibodas), dan hasil penelitian keragaman flora-fauna di pegunungan
Gede-Pangrango.
PERJUANGAN RANGGA DJAGAT SYAHDANA (1808 – 1841)
Tahun
1808; Rangga Djagat (Lulunta) Syahdana atau lebih dikenal dengan Embah Djalun
(1770 – 1841) seorang tokoh pejuang keturunan Raja Mataram yang disegani dan
sangat menentang VOC (Verenigde
Oos-Indische Compagnie, 1610 – 1799) yang merupakan sebuah perserikatan
perusahaan Republik Belanda saat itu yang memonopoli seluruh perdagangan di
Asia.
Rangga Jagat
Syahdana meninggalkan Mataram Jawa sejak tahun 1808 untuk bergabung dengan
Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon, sampai akhirnya menikah dengan gadis
Kuningan (Cirebon).
Pegunungan Gede-Pangrango
merupakan markas perjuangannya sekaligus tempat persembunyian dari penyergapan
pasukan Pemerintah Belanda. Lereng selatan Gunung Pangrango menjadi tempat
strategi perjuangannya, yang ditandai dengan didirikannya sebuah masjid.
Kendatipun saat ini masjid tersebut sudah tidak ada, tetapi tempat tersebut
sampai sekarang masih disebut dengan nama Gunung Masigit yang berasal dari
sebutan ‘masjid’.
Tahun
1811; Pertempuran Sumedanglarang pada tahun 1811, yang menjadi penyerangan
terbesar dan membuahkan kemenangan yang dipimpinnya melawan Pemerintah Belanda
(pertama), sampai akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Inggris.
Tahun
1817; Rangga Jagat Syahdana dikaruniai anak laki-laki yang sangat diharapkan
akan melanjutkan perjuangannya. Sebagai perwujudan kebahagiaan dan
kebanggaannya pada keturunannya, maka Rangga Jagat Syahdana bersama masyarakat
dan para pejuang, membangun sebuah telaga sebagai kantung air dari pegunungan
Gede-Pangrango untuk segala kebutuhan air di sekitar markas peruangannya yang sudah
menjadi sebuah desa tersebut, yang akhirnya dinamai dengan Situgunung.
Tahun
1840; Diantara beberapa kali penangkapan yang dilakukan Pemerintah Belanda
(kedua), bersamaan dengan meletusnya Gunung Gede yang terbesar di tahun 1840,
Rangga Jagat Syahdana kembali ditanggap yang terakhir dan langsung dihukum
gantung oleh di sebuah lapangan yang sekarang disebut dengan Alun-alun Cisaat.
Tahun
1841; Hukuman gantungan yang dapat digagalkannya, telah memaksanya untuk
melarikan diri ke Banten meninggalkan istri dan anaknya. Perjalanan yang sulit
saat itu telah membuatnya jatuh sakit dan meninggal dunia di Bogor.
Tahun
1950; Pemerintah Belanda mengambil alih paksa daerah Situgunung dan
memberlakukan kerja paksa untuk membangun kembali danau tersebut sampai seluas
120 hektar, sekaligus bangunan penginapan yang dinamakan Hotel Situ Gunung.
PENELITI BOTANI DAN KURATOR EROPA SELAMA PEMERINTAHAN HINDIA-BELANDA (1728 – 1925)
Tahun 1728; Kawasan pegunungan
Gede-Pangrango, mulai dari kawasan Gunung Mas sampai kawasan Puncak Gede dan
Pangrango, dijadikan kawasan uji coba penanaman beberapa jenis teh dan
sayur-sayuran oleh Pemerintah VOC di Indonesia.
Bahkan sejak tahun 1740 di kaki Gunung Gede, tepatnya di Cipanas,
telah dibangun milik pribadi seorang tuan tanah Belanda yang akhirnya sejak
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff, bangunan ini
dijadikan sebagai tempat peristirahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Sekarang tempat peristirahatan ini
dijadikan Istana Kepresidenan Republik Indonesia, yang dikenal dengan Istana
Cipanas.
Tahun 1811; Sir Thomas Stamford Bingley Raffles
sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dari Kerjaaan Inggris, selama menjabat
sebagai Letnan Gubernur Jawa, sempat mengunjungi Gunung Gede dan membuat
kontruksi jalan setapak di sebelah tenggara lereng Gunung Gede, yang
sisa-sisanya masih dapat dilihat disana.
Raffles lah yang memulai pembuatan taman bergaya Inggris klasik di
halaman istana di Bogor, yang kemudian ditetapkan sebagai Buitenzorg Botanic Garden.
Tahun 1817, tanggal 18 Mei; tidak lama setelah
Pemerintah Inggris meninggalkan Indonesia, Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron
van der Capellen (1816 – 1826) yang menggantikan Raffless menetapkan Kebun
Istana sebagai Buitenzorg
Botanic Garden (Kebun Botani Bogor) atas gagasan Prof. C.G.C. Reinwardt yang menjabat
sebagai Direktur Pertanian, Kebudayaan dan Penelitian di Pemerintahan Hindia-Belanda
pada waktu itu
Tahun
1819, bulan
April; Prof. C.G.C. Reinwardt
yang juga sebagai ilmuan botani dan kimia Belanda (kebangsaaan Jerman),
menyempatkan diri untuk mendaki gunung, dan akhirnya dikenal sebagai orang yang
pertama mendaki sampai Puncak Gunung Gede.
Namun demikian
Reinwardt mempercayai bahwa seorang geologis sekaligus dokter dari Amerika yang
bernama Thomas Horsfield telah mendaki gunung tersebut, tetapi tanggal pastinya
tidak diketahui. Sebagai seorang rekan dari pendiri Zoology Society of London,
Horsfield mengumpulkan spesimen sejarah alam selama melakukan riset di Jawa
dari tahun 1802 sampai 1819.
Pendaki pertama yang tercatat melalui Cibodas dilakukan oleh Blume
mendaki lewat Cibeureum, Air Panas dan Kandang Badak, dimana rute tersebut kini
banyak digunakan oleh para pendaki. Dari Kandang Badak dia berjalan kearah
kawah, menyusuri kaki Gunung Gede yang terjal dan memotong jalan melewati
tebing hutan yang curam dan berbahaya, untuk masuk kesebelah utara yang
berkahir di Alun-alun Suryakencana. Dari padang rumput tersebut, Blume kemudian
membuat jalan pendek yang mengharuskan dia mendaki tebing yang curam dan
melewati hutan sub-alpin menuju puncak gunung (sekarang disebut Tanjakan
Rantai).
Tahun 1830; Reinwardt membuat
gagasan untuk menjadikan seluas lahan yang terletak di Komplek Hutan
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di
Cibodas
sebagai Kebun Botani Cibodas (Cibodas
Botanical Garden) yang dipersiapkan sebagai tempat introduksi tanaman kina (Cinchona calisaya).
Topografi lahan tersebut bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian
lokasi rata-rata 1.275 mdpl. Dari data lokasi saat itu didapatkan bahwa tempat
ini bersuhu udara 17 – 27oC, dan bercurah hujan rata-rata 2.380 mm
per tahun.
Ahli botani dan kurator Belanda, Johannes Elias Teysjmann tertarik untuk melanjutkan aktifitas
kakeknya (1830 – 1839) yang rajin menanam
bibit pohon terutama buah-buahan di Botanical
Garden Cibodas.
Tahun
1839, April
1839; seorang Jerman, F.W.
Junghuhn (1839-1861) melakukan pendakian dan telah menemukan sebuah kawah kecil di
Puncak Gede.
Dalam catatannya, Junghuhn menemukan
dua ekor badak jawa di dekat puncak gunung (sekarang dikenal dengan nama Kandang
Badak, 2.436 mdpl), dimana seekor sedang berendam di
suatu sungai kecil dan yang lain sedang merumput di pinggir sungai. Selain itu
ditemukan juga banteng jawa dan rusa jawa di pegunungan ini.
Akhirnya penghargaan sebagai pendaki pertama Gunung
Gede-Pangrango pun diberikan kepadanya dengan sangat kontroversial. Karena
beberapa tahun sebelumnya, pada bulan Agustus 1821, Heinrich Kuhl dan J. van
Hasselt, dua orang biologis muda yang bekerja di Netherlands Commission for
Natural Sciences, telah menulis surat kepada Pemerintah Hindia-Belanda, yang
menggambarkan bagaimana mereka mengikuti jejak badak menuju ke Puncak
Gede-Pangrango.
Junghuhn sangat meragukan kedua biologis muda tersebut, karena
mereka gagal menjelaskan tentang sejenis bunga ros (theimerial rose) yang merupakan jenis tanaman yang spektakuler saat
itu, dan hanya tumbuh di kawah Gunung Pangrango (kawah Gunung Mandalawangi
tua).
Sehingga sampai sekarang identitas dari pendaki pertama yang
menjejakan kaki di Puncak Gede dan Pangrango tidak akan pernah diketahui.
Bukanlah Junghuhn, Kuhl, Hasselt, Horsfield, Reinwardt, maupun Raffles yang sejak tahun 1980-an menjajal Pegunungan
Gede-Pangrango di Indonesia. Mungkin
mereka yang menganut agama Hindu dari Kerajaan Pajajaran, atau mungkin anggota
masyarakat yang lebih tua dari masyarakat Kerajaan Pajajaran yang menghuni
tanah jawa inilah yang menjadi pendaki sekaligus menghuni Puncak Gede maupun
Pangrango (Mandalawangi tua). Hal ini dibuktikan dengan adanya situs petilasan
masyarakat kuno di Alun-alun Suryakencana, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke
Indonesia. Tidak diragukan lagi, siapapun yang telah melihat ke bawah dari
puncak gunung tersebut, dapat tergambarkan bagaimana tanah Jawa waktu silam
lebih dari setengah juta tahun yang lalu.
Tahun
1839; Johannes Elias Teysjmann yang saat itu menjadi Direktur Cibodas Botanical Garden, mendukung
pernyataan Heinrich Kuhl dan J. van Hasselt, dengan mendaki Gunung
Gede-Pangrango berdasarkan surat dari kedua orang biologis Netherland tersebut.
Pertentangan yang dibiarkan berlarut-larut menjadi semakin buruk
dengan adanya kritikan Junghuhn yang tajam terhadap Teysmann yang membuka lahan
hutan dalam rangka menanam tumbuhan dari luar. Sayangnya Heinrich Kuhl dan J.
van Hasselt tidak dapat diajak berunding karena mereka meninggal di Bogor pada
usia muda yaitu 24 dan 26 tahun karena penyakit daerah tropis.
Teysmann pun sempat
membangun sebuah rumah peristirahatan di Kandang Badak (2.436 mdpl), dengan
kebun tanaman sayuran, taman bunga, dan pepohonan. Kendatipun akhirnya hancur
tertimpa bebatuan besar yang dilontarkan dari Letusan Gunung Gede pada tanggal
28 Mei 1852.
Sampai saat ini,
bekas peninggalan bekas pondasi bangunan tersebut masih dapat dijumpai di
sekitar Kandang Batu. Tanaman bunga mawar dan pohon cemara yang bukan merupakan
habitat asli ekosistem sub-alpin (2.400 – 3.019 mdpl) masih dapat ditemukan
disini.
Tahun 1852; Aklimatisasi kina
yang didatangkan dari Bolivia, Amerika Selatan di Botanical Garden Cibodas. Seiring dengan waktu dibawanya bibit
kina pertama kali dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 11 April 1852, maka sejak
tanggal itu diperingati sebagai hari lahirnya Kebun Raya Cibodas sampai
sekarang.
Introduksi kina di Botanical Garden Cibodas dinyatakan gagal, karena kondisi
tanahnya tidaklah
cocok. Kina di sini tidak dapat tumbuh dengan optimal bahkan mati.
Kendatipun demikian, percobaan ini menjadi sejarah cikal
bakal sebaran tanaman kina pertama kali di Indonesia.
Tahun
1861; A.R. Wallace menjadi salah satu pendaki Gunung Gede berikutnya pasca
letusan besar Gunung Gede tahun 1852 – 1853 yang menghancurkan vegetasi di
kawasan ini.
Tahun 1862; Melihat pengalaman Botanical Garden Bogor (Kebun Raya
Bogor/KRB) saat itu, Teysjmann menambah terus tumbuhan di Cibodas, dan menjadikannya lokasi aklimatisasi
bagi jenis-jenis tetumbuhan baru
didatangkan dari luar negeri, yang bernilai penting dan berekonomi tinggi, dan
akan dibudidayakan di Indonesia, tetapi tak bisa tumbuh di KRB.
Kekayaan koleksi
tumbuhan dataran tinggi basah tropika di Botanical Garden Cibodas ini, telah membuat Pemerintah Hindia-Belanda
menetapkannya sebagai Bergtuin te Tjibodas atau Kebun
Pegunungan Cibodas yang merupakan cabang dari Botanical
Garden Bogor.
Tahun
1889; Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan kawasan hutan pegunungan Gede-Pangrango,
tepatnya kawasan seluas 240 hektar antara Bergtuin te Tjibodas dan
Air Panas sebagai Suaka Alam Cibodas.
Tahun
1890, 1891, dan 1911; S.H. Koorders, M. Treub, dan W.M. van Leeuen melengkapi
sejarah pendakian Gunung Gede-Pangrango.
Tahun
1920 – 1952; C.G.G.J. van Steenis membuat koleksi tumbuhan dari kawasan
pegunungan Gede-Pangrango, sebagai dasar penyusunan buku “The Mountain Flora of
Java” yang diterbitkan tahun 1972.
Tahun 1925,tanggal 15 Januari; Pemerintah
Hindia-Belanda memperluas kawasan Cagar Alam Cibodas
hingga seluas 1.040 hektar yang mencapai Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung
Pangrango dan sekitarnya.
PEMERINTAHAN INDONESIA (1975 – 2003)
Tahun 1975, tanggal 27 November; Pemerintah Republik
Indonesia melalui ketetapan Menteri Pertanian menetapkan wilayah Situgunung
seluas 100 hektar sebagai kawasan Cagar Alam Situgunung.
Tahun 1977; Tingginya nilai keanekaragaman
hayati di kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango juga yang mendorong UNESCO
untuk menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer, jauh sebelum kawasan ini
ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional.
Tahun
1978; Pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan menetapkan kawasan
seluas 14.000 hektar, yang terdiri dari dua puncak utama dan lereng Gunung Gede
dan Pangrango yang luas sampai Cagar Alam Situgunung, sebagai Cagar Alam Gunung Gede Pangrango.
Tahun
1980, tanggal 6 Maret; Menteri Pertanian Republik Indonesia memperluas Cagar Alam Gunung Gede Pangrango sampai 15.196
hektar, yang meliputi Cagar Alam Cibodas, Cagar Alam Cimungkat, dan
Cagar Alam Situgunung, dan mendeklarasikannya sebagai Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, bersamaan dengan empat kawasan taman nasional di
Indonesia pertama lainnya.
Tahun
2003, tanggal 10 Juni; Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango diperluas menjadi 21.975 hektar, berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
6 comments:
Blognya keren.....adem dan hijau..Bermanfaat.
keren lah, untuk menambah ilmu :)
Keren gan ������
Saran. Akan lbh keren lg kalo disertai poto2 nya.
Saran. Akan lbh keren lg kalo disertai poto2 nya.
Post a Comment